Kamis, 08 Oktober 2009

Mendayagunakan Potensi Waktu


Waktu demi waktu yang sudah kita jalani. Jika mau jujur, tiap desah napas adalah satu langkah menuju kubur. Perayaan ulang tahun, sebenarnya adalah perayaan berkurangnya jatah umur kita. Alangkah ruginya jikalau kita menjalani sesuatu yang begitu berharga lalu kita sia-siakan dia.
Begitu urgennya masalah waktu, sampai ada yang mengatakan, ”Jika engkau ingin tahu manusia yang paling bodoh, lihatlah orang yang diberi modal dan modalnya dihamburkan sia-sia”.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa satu-satunya yang tidak bisa direm adalah waktu. Setiap orang mempunyai jatah yang sama, 24 jam. Orang yang sukses dengan orang yang gagal, begitu pun calon ahli surga dan calon ahli neraka, waktu yang diberikan kepada mereka semua adalah sama.
Yang jadi persoalan adalah bagaimana mengelola waktu agar menjadi manfaat di dunia dan di akhirat?

Karena itulah Allah SWT, meletakkan waktu sebagai nilai yang menentukan timbangan kerugian dan keuntungan manusia dalam hidupnya.

QS. Al-’Ashr : 1-3 :
”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan saling menasehati dalam menaati kebenaran dan nasihat menasihati dalam menetapi kebenaran”.

Surat al-’Ashr di atas memang laksana lautan tak bertepi. Setiap kali kita men-tadabburi-nya, setiap itu pula kita menemukan makna-makna baru yang menuntut kesadaran baru yang lebih intens dalam soal waktu. Paling tidak, dari surat tersebut kita yakin bahwa setiap manusia hanya akan menghabiskan waktunya dalam kerugian, kecuali mereka yang memiliki kemampuan memanfaatkan waktu untuk empat perkara.

Pertama, orang yang pasti beruntung adalah orang yang setiap hari bertambah kekuatan iman dan keyakinannya terhadap kebenaran. Jadi kalau orang bertambah usia tapi tidak mengerti hidup ini untuk apa dan diabdikan untuk siapa?
Dia tidak mengerti agama, tidak mengerti iman, maka hidupnya benar-benar sia-sia saja. Hidupnya hampa karena perbuatannya tidak dilandasi niat ibadah karena Allah.
Jadi maaf-maaf saja, orang punya harta, gelar, pangkat, jabatan, punya segala-galanya, tapi tidak punya iman, dia termasuk orang yang merugi. Bobot pahala tidak dihitung dari semua itu. Betapa kasihan dia, sudah sibuk luar biasa didunia tapi ketika mati hanya jadi bangkai, lalu hanya dosa-dosanya saja yang akan dihitung. Naudzubillah min dzalik.
Lantas bagaimana agar iman menjadi kuat? Pupuk penguat iman adalah ilmu. Jika kita tidak pernah mencari ilmu, maka sama saja dengan menanam pohon tanpa memupuknya. Lambat laun pohon akan layu, menguning, kering dan mati.

Kedua, ciri orang yang beruntung adalah mereka yang dapat memanfaatkan setiap waktunya menjadi amal shaleh. Kita tidak perlu dipusingkan dengan apa yang akan kita dapatkan, karena pahala dan balasan dari setiap amal tidak akan tertukar. Tidak ada yang tertukar dari karunia dan balasan Allah. Yang harus kita pikirkan setiap waktu adalah bagaimana agar setiap detik waktu kita bisa menjadi amal baik?

Ketiga, ciri selanjutnya adalah orang yang mendakwahkan kebenaran. Orang itu beruntung kalau menjadi contoh kebaikan, sehingga setiap orang akan meniru kebaikannya, Insya Allah pahala kebaikan itu juga akan mengalir untuknya.
Maka, kalau kita ingin termasuk orang-orang yang beruntung, usahakanlah agar setiap waktu membuat diri kita bagaikan cahaya matahari. Menerangi orang-orang yang berada dalam kegelapan.

Keempat, ciri terakhir, orang itu yakin bahwa setiap waktu yang dia jalani akan banyak menghadapi cobaan-cobaan. Oleh karena itu, hanya orang-orang yang mempunyai kesabaran didalam menegakkan kebenaran inilah yang beruntung. Sebab jika kita tidak sabar, kita akan goyah, rontok, tidak menjadi contoh, dan akhirnya kita tidak memperoleh apapun di akhirat kelak. Kekuatan pribadi untuk saling menasehati dalam kebenaran adalah bagian dari keberuntungan yang kita miliki.

Oarang yang cantik jelita maupun gagah rupawan serta memiliki jabatan dan kedudukan tinggi, tapi tidak mengenal Allah, tidak beramal shaleh, dan pribadinya hanya menjadi contoh keburukan, maka hidupnya hanyalah kerugian. Karena sehebat apapun topeng duniawi yang kita miliki hanya bersifat sementara. Semuanya akan mati. Masalahnya, apakan kematian itu khusnul khatimah (baik di akhirnya) atau su’ul khatimah (jelek diakhirnya)? Semua itu pada khirnya lebih bergantung dari bagaimana cara kita mengisi waktu demi waktu dalam hidup ini.

Dengan demikian, marilah kita jadikan setiap detik begitu berarti sehingga cukup menjadi sarana untuk memacu peningkatan kualitas dan pemahaman kita terhadap kebenaran. Sehingga iman kita semakin menebal, amal kita semakin produktif, kualitas akhlak meningkat dan kesabaran kita menjadi teladan dalam menetapi kebenaran.


Sehingga panjang pendeknya umur kita menjadi sangat berarti, sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
”Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang diberi panjang umurnya dan baik amalannya. Dan sejelek-jeleknya manusia adalah orang yang diberi umur yang panjang dan jelek amalannya.” (HR Ahmad).

Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar