Senin, 26 Oktober 2009

Agungkan Kumandang ADZAN

Jika kita yang butuh, mestinya kita akan datang mencari tanpa disuruh. Shalat “khususnya”, zakat dan ibadah lain sejatinya adalah kebutuhan primer kita. Dengannya kita akan mendapatkan sesuatu yang paling penting dalam hidup ini, ketenangan dan keselamatan dunia akhirat. Adapun Allah, sama sekali tidak butuh dengan semua itu. Andai seluruh manusia beriman dan berbakti ata
u sebaliknya, kafir dan menghianati, kebesaran Allah tidak akan terkurangi.


Subhanallah. Dengan segala rahmat-Nya, Allah mensyariatkan adzan sebagai panggilan dan peringatan bagi hamba-Nya. Demikian cinta dan sayangnya Allah pada hamba, hingga sesuatu yang mestinya kita perhatikan melebihi lapar dan pekerjaan, tetap Allah ingatkan.

Tapi coba renungkan, saat panggilan Allah berkumandang, apa yang kita lakukan?

Alih-alih diam mendengarkan, kebanyakan kita malah sering tak menghiraukan. Padahal syariat menggariskan, jika mendengar adzan kita disunahkan menjawab, berdoa dan menghadiri undangan dengan shalat berjamaah.


Beda persepsi, beda pula reaksi. Orang yang menganggap adzan hanya sebagai tanda masuk waktu shalat, hanya akan diam sebentar –mungkin menjawab-, berkata dalam hati ”oh sudah dhuhur...” dan meneruskan pekerjaannya lagi.

Lain halnya dengan yang memahami bahwa adzan bukan hanya sekedar tanda masuk waktu, tapi lebih sebagai panggilan Allah untuk shalat wajib berjamaah di masjid. Setelah diam dan menjawab adzan, segala pekerjaan akan ditinggalkan dan segera memenuhi undangan menjadi dhaifullah (tamu Allah).

Jika kita renungi, akan kita temukan betapa adzan mengandung makna yang luas dan dalam. Selain takbir yang mengingatkan kita akan kebesaran Allah dan selain Allah adalah kecil dan remeh, termasuk pekerjaan kita, juga lafadz syahadah yang mengingatkan kita akan ikrar kita untuk selalu taat dan tunduk pada-Nya semata.

Kemudian, lafal ajakan untuk shalat, seperti ingin mengetuk nurani kita, benarkah di hati kita hanya Allah-lah yang paling Agung?

Jujurkah ikrar syahadat kita?

Masing-masing kita seakan diuji dengan panggilan agung ini, lima kali dalam sehari. Adakah kita termasuk orang-orang yang mencari kebahagiaan hakiki ataukah orang-orang yang lalai karena dunia yang fana ini?


Mendengar, menjawab dan mendatangi.

Itulah adab terbaik saat panggilan agung ini berkumandang. TV, radio ataupun suara yang berasal dari komputer atau yang lain hendaknya dimatikan, bukan sekedar dikecilkan.

Menjawab adzan dengan lafadz yang disunahkan juga tidak layak kita tinggalkan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang memerintahkan :

”Jika kalian mendengar panggilan (adzan) maka ucapkanlah seperti yang diucapkan muadzin” (HR, Muslim).

Adapun cara menjawab adzan, dalam kitab al-Adzkar, Imam Nawawi menyebutkan bahwa jawaban adzan adalah seperti lafadz adzan kecuali pada ”hayya ’alashalah” dan ”hayya ’alalfalah” yaitu dengan ucapan ”la haula wala quwwata illa billah” dan pada tatsa’ub (ash shalatu khairunminannam) dengan ”Sadaqta wabararta” (Engkau benar dan engkau telah menunaikan).


Sekali lagi, adzan adalah undangan, bukan sekedar pemberitahuan. Karena pada dasarnya shalat fardhu haruslah dilaksanakan dengan berjamaah. Dan dengan adzan, kaum muslimin, khususnya laki-laki, diajak untuk menunaikan shalat fardhunya dengan berjamaah dimasjid., bukan dirumah atau dipojok ruangan kerjanya.

Memang, jumhur memutuskan bahwa shalat fardhu berjamaah di masjid hukumnya sunah muakkad. Akan tetapi beberapa ulama berpendapat bahwa hal tersebut wajib mengingat betapa kerasnya peringatan Rasulullah saw akan hal ini. Dalam kitab Shahih-nya, Imam al bukhari menuliskan ”Bab Wajibnya Shalat Berjamaah”.

Rasulullah saw bersabda :

”Dengan jiwaku yang berada di tangan-Nya, sungguh aku bertekad menyuruh pengumpulan kayu bakar, kemudian kau suruh seseorang adzan untuk shalat, dan seseorang untuk mengimami, lalu aku pergi kepada orang-orang yang tidak ikut shalat berjamaah dan aku bakar rumah mereka” (Mutafaq alaih).

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan bahwa Rasulullah saw tidak memberi keringanan bagi seorang buta untuk tidak ikut berjamaah di masjid.

Sabda Rasulullah saw :

”Barangsiapa menunaikan shalat isya dengan berjamaah, maka seakan-akan ia telah shalat setengah malam dan barangsiapa shalat Shubuh berjamaah, maka seakan-akan ia telah shalat semalam suntuk” (HR. Muslim).

”Shalat seorang lelaki yang dilaksanakan berjamaah akan lebih utama dua puluh tujuh derajat dari pada shalat sendirian” (HR. Muslim).

Jika ancaman demikian keras dan fadhilah yang terkandung sangatlah besar, lantas apalagi yang kita pikirkan?

Kita diperintahkan agar menjalankan perintah Allah semampu kita sedang Allah Maha tahu sejauh mana sebenarnya kita telah berusaha.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar