Minggu, 05 April 2009

LAPAR RUHANI


Karena ada materi kehidupan di dalam hati, maka ia bisa hidup, sakit, atau bahkan mati.

Sebenarnya tergantung pada “lifestyle” seperti apa yang dijalaninya, santapan apa yang dilahapnya, serta terapi apa yang ditempuhnya. Dan perbedaan di antaranya akan menghasilkan buah yang berlainan. Kadang bias sangat berbeda dan bahkan bertolak belakang. Karena hati bias lapar dan dahaga, ia membutuhkan makanan bernutrisi seimbang, serta minuman segar yang membuat rasa haus bubar. Dan hanya hati yang senantiasa menyantap hidangan lezat dan bergizi, rajin “berolah jiwa”, serta selalu melakukan sejumlah terapi penyembuhan dari gejala-gejala penyakit yang ada, yang akan beruntung. Sedang hati yang sebaliknya, akan memetik buah kegagalan yang beruntun.

Pada saat yang sama, berbagai “pengobatan alternatif” demi kesembuhan dan keseimbangan hati hanya mendatangkan sejumlah derita dan nestapa. Ia berjalan terengah-engah kepayahan membawa luka yang semakin bertambah parah.

Sesungguhnya, santapan terbaik bagi hati adalah iman, sedang obat terbaiknya adalah al-Qur’an, meski masing-masingnya adalah santapan sekaligus terapi penyembuhan. Keduanya akan menembus hati, menyadarkan, member tenaga, serta menyembuhkan berbagai penyakit yang ada didalamnya. Hingga hilanglah semua rasa lapar, dahjaga dan kepenatan jiwa. Tapi, ruhani manusia seringkali tak bias menjangkau dan merasai kandungannya.
Akar masalah sakit dan matinya hati adalah berpalingnya ia dari makanan dan minuman yang bermanfaat dan terapi pengobatan yang menyembuhkan. Ia terlanjur menyukai makanan dan minuman sampah yang, meski kadang sangat mahal, tidak mengandung apa-apa selain menjadi sumber berbagai penyakit. Bahkan sejatinya, ia pun tidaklah menghilangkan lapar dan dahaga, selain membuat perut penuh dan “sebah”. Tapi atas nama gaya, manusia sering merasa bangga meski harus berdusta kepada nuraninya sendiri.
Tak dihiraukannya lagi tubuh yang meronta menahan perih, lapar yang bertambah memusingkan krpala, jasad lunglai kehilangan tenaga, serta mata yang nanar kebingungan dan hilang kesadaran, hingga gagal membaca petunjuk kebenaran. Sedang telingapun telah lemah untuk mendengarkan seruan pulang.
Sungguh mengherankan, ruhani yang luar biasa lapar ini tak dirasai. Jiwa-jiwa angkuh yang sakit dan bahkan mati itu, telah merasa puas dan cukup. Bahkan hidangan dan obat terbaik bagi hatinya, iman dan al-Qur’an, telah dicampakkannya. Panji-panjinya telah jatuh, sebab hatinya yang rapuh tak mau lagi patuh.

Kebodohan telah membuat dirinya asyik dengan kebenaran versi sendiri. Untuk jiwanya yang sempit dan sakit, menjadikannya asing dengan kebenaran hakiki, bahkan tidak mengenalinya lagi. Sungguh, ia ibarat debu berterbangan. Hanya memerihkan pandangan namun tak cukup berharga. Atau serupa awan tak membawa hujan yang mengecewakan tanah gersang. Ia meracau dalam galau. Berjalan dan terus berjalan tanpa arah tujuan selain menunggu saat maut datang menjemput.

Ketika itulah kebenaran tak lagi bisa dibantahkan. Tangis penyesalan tak lagi mendatangkan belas kasihan. Tak takutkah kita, yang berlainan. Kadang bisa sangat berbeda.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar