Selasa, 22 Desember 2009

Refleksi Hari Ibu; Ibuku Matahariku

<
Hampir seluruh masyarakat Indonesia mengetahui bahwa setiap tanggal 22 Desember disebutnya sebagai hari ibu. Setiap tanggal itu pula aku selalu teringat 3 (tiga) wanita yang senantiasa menopang dalam kehidupanku. Yang pertama ibu kandungku tercinta yang saat ini berada dikampung halaman, yang kedua ibu mertuaku yang saat ini tengah terbaring ditempat tidur karena sakit yang dideritanya, dan yang ketiga adalah istriku yang sering kusebut sebagai bidadariku yang dengan setianya menemaniku menakhodai perahu rumahtangga dalam mengarungi samudera kehidupan yang terkadang hempasan ombaknya terasa berat dan terkadang samudera itu membuat perahu kita menjadi tenang dalam berlayar. Namun Islam mengajarkan kepada kita bahwa penghormatan kepada seorang ibu adalah sepanjang jalan kehidupan kita dan bahkan melebihi seorang bapak.

Dari Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu katanya; telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah siapakah yang lebih berhak untuk aku berbakti? Rasulullah menjawab; Ibumu. Siapa lagi? Ibumu. Siapa lagi? Ibumu. Kemudian siapa lagi? Bapakmu.” (HR. Al Bukhari).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Subhanahu waa Ta’ala menetapkan bagi ibumu (tiga kali). Sesungguhnya Allah juga menetapkan bagi bapakmu (satu kali). Sesungguhnya Allah Subhanahu waa Ta’ala menetapkan yang lebih dekat dan yang paling dekat.” (HR. Ibnu Majah dan di shahihkan oleh Al Albani).

Kedua dalil tersebut memberi petunjuk kepada kita betapa agungnya hak seorang ibu. Seharusnya ia terima kebaikan itu dari berbaktinya anak kepadanya. Hubungan silaturrahim, pengabdian dan kepatuhan terhadap perintahnya adalah merupakan bagian dari mengabdi kepadanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengkhususkan tiga banding satu untuk ibu. Bapak-bapak diberikan satu sebagai imbalan dari apa yang diberikannya berupa nafkah.


Ibnu Bathal berpendapat: “Bagian ibu melebihi tiga kali dari bapak disebabkan tiga hal; suka duka ketika hamil, pertarungan antara hidup dan mati saat melahirkan dan suka duka waktu menyusui”.

Ibu. Kata yang begitu sejuk dilantunkan. Terasa indah didengarkan, dan begitu menggugah jika diselami maknanya. Dan ”Ibuku”, tulis Kahlil Gibran, menjadi sebutan paling indah dalam hidup; kata yang penuh semerbak cinta dan impian, manis dan syahdu, yang memancar dari kedalaman jiwa.

Ibu merupakan perwujudan dari sikap ketulusan, simbol keikhlasan. Ibu selalu memberi dan tidak pernah berharap menerima. Dia tidak hanya melahirkan anak-anak manusia penerus bangsa, akan tetapi juga membesarkan putra-putri mereka untuk menjadi permata dikehidupannya. Ketulusan ibu tak terhingga. Tak ada batasnya. Luasnya samudera, tingginya gunung, dan buih-buih awan di langit jika dikumpulkan, masih tidak mampu menandingi keluasan hati seorang ibu kepada anak-anaknya. Demi para buah hatinya, seorang ibu akan rela dan tak peduli hujan badai atau petir menggelegar. Ia tetap membawa anak-anaknya untuk menatap matahari, menjangkau semesta alam, untuk berbuat kebajikan.

Bakti seorang Muslim terhadap ibunya merupakan bagian dari rasa terima kasih atas pengorbanannya, bahkan semestinya seorang anak selalu mengingat pengorbanan ibunya dan membalas pengorbanan itu dengan berbakti kepadanya.

Bukankah kita semua mengetahui, bahwa pengorbanan seorang ibu tersebut dimulai sejak mengandung, melahirkan dan membesarkan anak sarat limpahan kasih sayang dan pendidikan.
Begitu pula halnya terhadap seorang istri biasa aku menyebutnya "Sang Bidadari", kita para suamipun wajib menjaganya, membimbingnya agar senantiasa kaffah dalam ber Islam.



Marilah kita mulai memberikan perhatian lebih kepada ibu kita, jangan sampai ada rasa penyesalan dalam perjalanan hidup kita, hanya lantaran kita tidak peduli kepada ibu yang telah membesarkan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar